Kamis, 02 Oktober 2008

Cerita Air Mata

saat ini aku berjalan
berdendang ria tuk hancurkan lara
coba dinda kau masih di sini
menoleh, melihat bunga indah di taman, mempesona
tak usah kau tanya
mungkin itu taman surga
dengan mekaran bunga-bunga
wangi semerbak semilir
aku berhenti berjalan sejenak
kulihat kau terduduk di sana, di taman itu
kau tampak muram, sekaligus kejam
tak palingkan wajahmu padaku
aku terima, harus terima
kulihat ke tanah tempatku berpijak kini
ada bekas telapak kakiku di sana
aku masih menapak
tak sedang terbang di surga seperti yang kurasa

kulihat ada genangan air di sana
di ujung-ujung kakiku yang terluka
perih merunduk
kulihat bayang wajahmu yang mempesona
tak tersenyum lagi padaku seperti dulu
memang itulah kenyataannya
dan aku terima, harus terima

tapi air apa itu
tak hujan kini
tak mungkin pula genangan seperti ini, terlalu sedikit
ini seperti tetesan
kuseka mataku yang sedikit memerah, tak sengaja
sungguh bosan
tapi aku harus berpelukan dengan sepi
aku juga harus berteman dengan kesendirianku kini
tapi entahlah
batinku meringis bertanya, tergetar
percayalah, ujung-ujung jariku kedinginan
sudah terlalu lama aku terpekur di sini
tak merasa nyaman di tempat ini
ada yang mengganggu
kuremas keras
agar tak jatuh dari genggamanku yang rapuh, saat ini
di sebelah kulihat ada kertas buram
lusuh sekali, sungguh
tapi tunggu dulu
sepertinya aku kenal tulisan itu, rapi
panjang sekali untaian kata-kata di situ
sepertinya cerita, atau semacam harapan, atau doa

ya Tuhan...
aku tahu, aku ingat
aku yang menulis ribuan kata di situ
kutumpahkan di sana
bukanlah cerita cinta, bukan pula cerita rindu
melainkan kisah tetesan-tetesan air mata

02 Oktober 2008

0 komentar:

Posting Komentar