Jumat, 18 Juni 2010
Episode Tragedi dan Secangkir Kopi
-kisah usang yang lengang di sudut ruang
di sepi yang hampir sempurna ini, saat segala sesuatu telah pergi, tak kecuali nama yang pernah begitu indah menghiasi, dimiliki, disanjungi, dan dikagumi oleh hati -namanya dulu cinta, bersemi, meski penuh dengan teka-teki- seberkas sinar mentari telah lagi terangi hidupku, aku hanya sedikit menoleh masa lalu, lantas menatapi apa yang ada di hadapanku, sungguh, belum pernah sebelumnya kulihat hal-hal yang begitu banyak lagi indah secara bersamaan, rasanya, tak pernah sia-sia aku kuburkan saat-saat indah empat puluh bulanku beberapa waktu yang lalu, saat itu aku merasa telah diwajibkan untuk menguburkannya, apa yang dulu pernah hidup menyemat dalam hidupku, aku menguburkannya, lambat-lambat, dan tanpa ada yang tahu...
dulu, cinta begitu setia menemani aku, dari waktu ke waktu, pada siang dan malam-malamku, ia adalah kata-kataku yang paling tenang yang selalu membawakanku begitu banyak puisi, imaji-imaji yang datang senantiasa membimbingku, mengajariku bagaimana cara yang indah menghirup udara malam, dan memandang langit cerah pada siang hari, kedalamannya adalah kebahagiaan yang tumpah tetes demi tetes, kusangka tak ada habisnya, namun pada akhirnya berujung kesia-siaan, cinta merenggut rangkaian mimpi-mimpiku, dengan kepelan-pelanan yang begitu lembut, yang belum pernah aku sadari sebelumnya...
aku tersudut di ruang hampa sepi sapa, ruang di mana aku hanya bisa menemukan, dan selalu mengeja kata-kata tragis di dalamnya, tak kutemui hal selainnya, bahkan untuk hal-hal yang paling aneh sekali pun...
dari sini aku akui kerapuhanku, aku ketakutan melanjutkan hidup, tanpa sedikit pun daya kupunya, tak akan kusangsikan bahwa pada saat itu aku benar-benar membutuhkan sesuatu yang luar biasa, setidaknya untuk membuatku tetap bertahan, melepaskanku dari rasa kasihan dan ketakutan, tapi lagi-lagi tak pernah kutemukan...
dalam hari-hari yang dipenuhi tragedi keterpurukkan, termasuk kepesimisan, aku sadari, aku harus mampu melahirkan kekuatanku sendiri untuk menyadari segala hal yang ada dalam diri, memahami dekadensi naluri yang tengah terjadi, secara sejati...
dengan sakit yang paling parah sepanjang usia, dan dengan kelemahan yang begitu pasrah, aku mengeja perlahan-lahan, tentang episode-episode yang hampir mati, sebelum segalanya memanjang, kuyakini bahwa penyembuhan dengan jalanku sendiri akan menangkap banyak pengalaman sebagai pelajaran tak terhargai, aku bukakan kembali mata hati yang hampir mendekati kebutaan, buta akan segalanya, aku eja dari belakang, tak kecuali apa yang akan kutemukan dan kulakukan ke depan...
sementara di titik lain, aku tak pernah menyandingkan santapan-santapan di antara batang-batang rokok dan secangkir kopi kentalku, seperti halnya yang dilakukan banyak orang untuk kelanjutan hidup, aku tak ingin merusak kekhasan rasa pada setiap tegukannya, juga nuansa suasananya, ia teman setia, pada siapa saja aku akan berkata, menghabiskan hari tanpanya setara dengan membunuh sebuah karya jiwa, tak masuk akal? biarlah...
ia seperti selalu menjadi kebiasaan untuk pagiku, padahal ia telah menjadi primer untuk kebutuhan harianku, akan lebih indah kehilangan seorang kekasih bagiku dari melewati hari tanpa secangkir kopi, ia selalu menemaniku duduk dari jarak yang paling dekat, ia bangkitkan aku dari keyakinan yang terbekukan, ia tebarkan aroma harapan yang luar biasa, membantuku mencari-cari celah titik terang, yang menjadi satu bagian kehidupan paling romantis dalam hidupku...
di tengah dera menyamudera, tergerak hati melangkahkan kaki ke luar kota, sebuah ide yang ramah menurutku, tapi masih tetap dengan kerapuhanku, begitu berat untuk meninggalkan anak-anakku yang riang, namun sulit untuk tak membiarkan terang itu hilang, terbayang sebuah kehidupan yang begitu mengerikan, aku harus menikmati nafas hidup ketidakbersihan, dalam terang yang tak begitu benderang, dalam cahaya yang tak begitu sempurna, bagai telah ditakdirkan untuk hanya berkunjung sejenak menikmati angin metropolis, aku kembali pulang halaman, barangkali di tempat sinilah takdirku dilahirkan, dibesarkan dan menghabiskan masa kecil untuk kemudian membesarkan anak-anakku kelak, insya Alloh...
di sepi yang telah sempurna ini, aku ketukkan sebuah palu ke atas meja tiga kali tanpa terputus, menandakan bahwa aku akan kembali berdiri dan berjalan, dengan segenap kehormatanku sebagai laki-laki, dan untuk yang akan menjadi pendamping hidupku nanti, beri aku waktu untuk memperbaiki kehidupanku lebih dulu, setelahnya, kau kubolehkan hidup bersamaku selama-lamanya, dengan kehidupanku yang serba alakadarnya, tapi tetap penuh cinta...
sebuah rekreasi kehidupan yang teramat menawan, pohon cinta itu memang pernah tumbang dalam hidupku, menggugurkan daun-daunnya, rapuhkan nurani dan jiwa, tapi aku tak pernah menyangka dan tak pernah tahu sebelumnya, bahwa aku telah dengan susah payah menjaga agar pohon yang pernah menumbangkan hidupku itu tak lantas menjatuhkanku sampai mati, aku masih tetap hidup, dan masih menikmati keunikan nuansa kopi kental seleraku, hingga kini...
kini sepi telah begitu sempurna, aku tak harap akan berteman lagi dengannya, aku telah banyak memiliki hal-hal yang indah, demikianlah aku kisahkan akhir dari periode-periode mati kehidupanku, untuk hidupku sendiri...
-Cha'unk El Fakir
"Di antara hal terakhir yang dikenali manusia secara keseluruhan adalah dirinya sendiri."(Mark Hopkins)
18 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar